PROSTITUSI ?!

PROSTITUSI ?!
Dok KPA Kab. Tangerang
Dok KPA Kab. Tangerang

Kita semua tahu, bahwa setiap orang/individu bekerja demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Ada yang bekerja dengan fisik/tenaga, ada pula yang bekerja dengan menggunakan akal pikirannya/ide/ilmu pengetahuan. Keduanya saling mengisi dan memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk memperoleh uang yang digunakan sebagai alat tukar/pembayaran. Singkatnya, semua orang menukarkan waktu dan tenaga/jasa dengan uang. Dengan kata lain, semua orang “menjual dirinya” dalam bentuk jasa, meski sebagian orang dapat menjual sebuah produk/barang atau hasil panen maupun hasil karya yang pada akhirnya tetap harus dipasarkan dengan menggunakan waktu dan tenaganya.

Pernahkah terbayangkan pada suatu zaman dimana belum terciptanya sebuah alat tukar/pembayaran yang kita kenal saat ini dengan nama uang!?. Bagaimana cara manusia mempertahankan hidupnya dan memenuhi kebutuhannya sebelum diciptakannya uang sebagai alat tukar/pembayaran?. Semua orang tetap bekerja (menjual dirinya) agar dapat mempertahankan hidupnya. Disaat ini sebuah benda yang dinamakan uang seringkali menjadi sumber masalah. Uang memang bukanlah segala-galanya, namun segala-galanya memerlukan uang hingga akhir hidup ini.

Negara Republik Indonesia yang saat ini berusia 69 tahun, masih mewariskan sejarah kolonialisme yang menciptakan development of underdevelopment. Dimana kolonialisme berbasis kapitalis telah mendorong masyarakat negara Dunia Ketiga mengalami keterbelakangan hampir dalam segala hal, mulai dari pendidikan, kesehatan, teknologi, permodalan dan lain-lain. Dalam kondisi kapitalisme, yang terjadi adalah seringkali negara mengambil peranan mendukung aktivitas para pemilik modal. Hal ini dilakukan supaya negara tersebut mendapatkan legitimasi untuk tetap berkuasa, mengingat pemilik modal ini memiliki akses kekuasaan yang besar (terutama uang). Dengan demikian, negara akhirnya ikut menyebabkan eksploitasi terhadap kelompok marjinal, misalnya dalam peraturan-peraturan yang menguntungkan pemilik modal dan merugikan kelompok buruh.

Marilah kita berfikir realistis sebelum membahas moral ataupun norma yang selalu diagung-agungkan. Munculnya kriminal, prostitusi, adalah dampak dari buruknya ekonomi di wilayah tersebut. Seks komersial kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi pembiayaan hidup. Prostitusi/pelacuran merupakan penyakit masyarakat yang sangat tua, dimana kegiatan ini telah terjadi jauh sebelum alat tukar/pembayaran yang dinamakan uang diciptakan. Kegiatan ini akhirnya dijadikan ladang usaha bagi para pemilik modal dan penguasa yang menyalahgunakan kewenangannya hingga terjadi kejahatan lintas batas negara (human trafficking).

Maraknya perkembangan bisnis/usaha prostitusi merupakan fenomena sosial yang harus dicermati bersama mengingat adanya praktek prostitusi dapat memicu penyebaran/penularan penyakit seksual seperti sifilis, gonorrhea, hingga HIV AIDS didalam masyarakat bahkan keluarga. Praktek prostitusi yang dulu dianggap tabu oleh masyarakat, pada saat ini telah menjadi hal yang biasa. Ini dapat dilihat dari beragamnya bentuk dan cara praktek prostitusi. Ada yang berkedok sebagai pelayan yang menjaja minuman seperti warung remang-remang, cafe-cafe dangdut, karaoke, panti pijat, hingga praktek yang dilakukan secara terang-terangan atau resmi karena keberadaannya yang dialokasikan/diketahui tampatnya oleh pemerintah seperti lokalisasi Dolly di Surabaya yang telah ditutup.

Jika ditinjau dari segi hukum, terdapat beberapa pasal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat menekan pertumbuhan/perkembangan praktek prostitusi mengingat dampak negatif bagi masyarakat atas keberadaannya. Pasal-pasal tersebut antara lain ; pasal 296 (yaitu mereka yang menyediakan sarana tempat persetubuhan), pasal 506 (yaitu mereka yang mencarikan pelanggan bagi si pelacur), dan pasal 297 (yaitu mereka yang menjual perempuan dan laki-laki dibawah umur untuk dijadikan pelacur. Namun landasan hukum tersebut diatas tidak dapat menekan maraknya perkembangan praktek prostitusi yang saat ini telah merebak hingga ke tingkat kabupaten/kota. Dapat disimpulkan bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi di kota besar/propinsi, namun masyarakat pedesaan (kabupaten/kota) juga telah merasakan dampak negatif dari praktek prostitusi. Lagi-lagi permasalahan ekonomi yang dijadikan alasan maraknya pertumbuhan praktek prostitusi.

Salah satu cara penularan virus HIV yang menyebabkan penyakit AIDS dimasyarakat adalah melalui transmisi seksual yang tidak aman (seperti berganti-ganti pasangan seks, seks tanpa pengaman/kondom). Pada periode Bulan Januari-Maret 2013 kasus HIV AIDS di Indonesia sebanyak 5369 (HIV) dan 460 (AIDS). Angka kasus ini manambah jumlah kasus dari periode 1 Januari 1987 s/d 31 Maret 2013 menjadi 147.106 kasus (103.759 HIV, dan 43.347 AIDS) dengan angka kematian sebanyak 8288 jiwa. Faktor resiko penularan pada kasus AIDS yang terdeteksi pada Januari-Maret 2013 terjadi melalui transmisi seksual di kalangan heteroseksual yaitu 60%. Laki-laki yang tertular HIV melalui transmisi seksual dengan PSK menjadi mata rantai penyebaran virus HIV di masyarakat. Ini dapat dibuktikan dari munculnya kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi dikalangan ibu-ibu rumah tangga, yang mengartikan bahwa para suami tertular HIV dari pasangan lain.

Pendidikan seks yang tidak atau kurang baik dari keluarga maupun sekolah, mengakibatkan informasi lebih banyak diperoleh melalui teman sebaya atau sumber yang tidak/kurang mengerti betul tentang kesehatan reproduksi dan sex. Sebuah Lembaga Independent yang bergerak di dalam isu kesehatan, yang berdiri atas Peraturan Presiden No 75 tahun 2006, yaitu Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), dapat menjembatani antara penyelenggara (dinas sosial, dinas kesehatan, dinas pendidikan, dll) dengan masyarakat. Pentingnya menumbuhkan kesadaran kritis di masyarakat agar dapat melindungi, mencegah anak-anak/remaja untuk tidak dijadikan object eksploitasi seksual. Menciptakan kegiatan positive dan sosialisasi tentang kesehatan reproduksi, dan yang terkait dengan penularan HIV di dalam lingkungan belajar-mengajar (sekolah) dan lingkungan sosial masyarakat sangat penting untuk dilakukan agar tidak ada lagi korban yang menyesal di kemudian hari.

Lokalisasi/lokasi praktek prostitusi merupakan kegiatan yang terorganisir dari seks komersial dengan orientasi ekonomi, sehingga para pelakunya (PSK) akan berupaya mengajak para lelaki dengan beragam usia untuk terlibat sebagai konsumen/pelanggan. Penggusuran, pembongkaran, hingga razia yang dilakukan untuk mentertibkan sama sekali tidak memberikan efek jera bagi mereka yang di anggap melakukan pelanggaran aturan tata tertib dan norma yang berlaku. Mereka dapat berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain karena desakan ekonomi atau terlilit masalah piutang. Belum lagi masalah kesehatan mereka para pekerja seks komersial yang sering terlupakan. Informasi yang cukup seputar HIV dan AIDS dimasyarakat sangatlah penting agar bisa mengurangi dan menghentikan prilaku seks beresiko. Teori supply & demand dapat dijadikan strategi untuk dapat menekan perkembangan praktek prostitusi yang selama ini menjadi mata rantai penyebaran virus HIV. Informasi kepada para pengguna jasa pekerja seks komersial tentang penularan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan virus HIV perlu dilaksanakan oleh masyarakat (LSM, Kelompok Kerja, dan mitra lainnya) dengan dukungan pemerintah (KPA, Dinkes, Dinsos, dan mitra lainnya) mengingat dampak yang ditimbulkan ke masyarakat dari praktek prostitusi tersebut.

Seorang remaja yang masih berusia belasan tahun ataupun anak-anak yang masih dibawah umur sangat rentan untuk terpengaruh oleh apa yang ia lihat dan kemudian meniru atau memprektekkannya. Masa puber bagi remaja, besarnya rasa ingin tahu untuk coba-coba (melakukan hubungan seks diluar nikah), bahkan mungkin fantasy seks yang disebabkan oleh kebiasaan menonton film porno, dapat mempengaruhi seorang remaja (laki-laki) untuk menggunakan jasa pekerja seks komersial. Apakah hal ini bisa terjadi di tengah-tengah masyarakat kita?. Apakah hal tersebut dapat mempengaruhi perkembangan mental bagi si anak/remaja?. Bagaimana jika si anak/remaja tersebut tinggal dekat dengan lingkungan dimana praktek prostitusi terjadi?. Bagaimana jika si anak/remaja tersebut tertular penyakit karena menggunakan jasa pekerja seks komersial?. Bagaimana jika si anak/remaja tersebut memiliki seorang teman wanita/pacar dan kemudian dengan/tanpa sengaja menularkan kepada teman wanitanya?. Apakah ada orangtua yang rela jika anaknya menjadi objek eksploitasi seksual karena melihat dan mengetahui adanya tempat/lokasi praktek prostitusi di lingkungannya?. Artinya, keberadaan tempat/lokasi dimana praktek prostitusi terjadi dapat minimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Segenap lapisan masyarakat tanpa mengenal batasan usia maupun gender bisa terkena dampak dari praktek prostitusi. Munculnya kasus HIV yang terdeteksi pada Ibu-ibu rumah tangga merupakan bukti bahwa praktek prostitusi merupakan suatu penyakit masyarakat yang tidak boleh dilegalkan mengingat lebih banyaknya hal yang merugikan dari pada memberikan manfaat bagi masyarakat. Namun jauh dilubuk hati yang paling dalam, kita menyadari bahwa tingginya biaya hidup yang pada akhirnya menentukan nasib para pekerja seks komersial. Pada hakikatnya mereka tidak dilahirkan ataupun memiliki cita-cita untuk melayani para lelaki hidung belang sebagai populasi kunci yang menjadi mata rantai penyebaran virus HIV.

[Riky Galantino]

Post author

Leave a Reply