Kerentanan Lingkungan Sosial Dan HIV AIDS

di Kabupaten Tangerang

Kabupaten Tangerang menghadapi tantangan yang signifikan dalam mengelola HIV/AIDS karena lingkungan sosialnya yang dinamis. Tulisan ini membahas bagaimana faktor-faktor seperti stigma, penggunaan narkoba, dan pekerja seks komersial berkontribusi terhadap kerentanan, didukung oleh data terkini. Tulisan ini juga menjadi refleksi perjalanan panjang upaya penanggulangan HIV AIDS di Kabupaten Tangerang. Meskipun migrasi dan kemiskinan menjadi masalah tambahan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi di kabu paten tersebut menunjukkan akses pendidikan yang lebih baik, yang dapat membantu mengurangi beberapa risiko. Tanpa diduga, ketersediaan layanan kesehatan (yankes) untuk pengujian dan pengobatan HIV di Kabupaten Tangerang terintegrasi dengan baik, dengan layanan gratis tersedia di 44 PUSKESMAS, 12 Rumah Sakit, dan 1 Balai Kesehatan masyarakat sd tahun 2023/2024.

Sumber: KPA Kabupaten Tangerang.

Hingga Desember 2024, Kabupaten Tangerang dengan estimasi temuan kasus HIV sebanyak 5.997 orang. Dari jumlah tersebut, 5.210 (87%) ODHIV (Orang Dengan HIV) yang di antaranya masih hidup, sementara 882 pasien meninggal dan 925 pasien rujuk keluar setelah

mendapatkan ART (Anti Retroviral Treatment). Sebanyak 3.341 orang (64%) masih menjalani pengobatan ART. Selain itu, dari ODHIV dites Viral Load (VL), sebanyak 2.393 orang (72%) menunjukkan hasil viral load tersupresi, yang merupakan pencapaian yang baik dalam upaya mengendalikan penyebaran virus.

Faktor Sosial yang Menyebabkan Kerentanan

Beberapa faktor sosial memperburuk kerentanan HIV/AIDS di Kabupaten Tangerang, masing-masing dengan implikasi khusus untuk intervensi kesehatan masyarakat:

Stigma dan Diskriminasi: Stigma menjadi hambatan yang mepengaruhi akses ke perawatan dan mendorong penyembunyian status HIV, seperti yang terlihat dalam studi terhadap petugas kesehatan di Indonesia.

Penelitian menyoroti bahwa stigma tetap menjadi hambatan yang signifikan, dengan

penyedia layanan kesehatan terkadang menunjukkan sikap yang menstigmatisasi, sebagaimana dibuktikan oleh sebuah studi tahun 2015 tentang perawat Indonesia. Stigma ini, yang juga dicatat dalam laporan Kementerian Kesehatan tahun 2021, memengaruhi lingkungan keluarga, komunitas, dan layanan kesehatan, yang menyebabkan penyembunyian status HIV dan berkurangnya akses ke yankes. Hal ini dapat menunda diagnosis dan pengobatan, sehingga meningkatkan risiko penularan.

Sumber: Jaringan Indonesia Positif (JIP)

Menigkatnya angka kepuasan terhadap kualitas yankes di Kabupaten Tangerang tidak terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan untuk menurunkan stigma di lingkup yankes oleh para pihak, kolaborasi kegiatan antara popkun (populasi kunci) dengan masyarakt umum gencar di lakukan baik melalui kegiatan sosialisasi, diskusi, talkshow, dan integrasi program. Namun masih tercatatnya angka stigma dan diskriminasi di dunia kerja, masih ada perusahaan yang belum bisa menerima ODHIV saat melamar pekerjaan, walau angkanya tidak signifikan.

Penggunaan NAPZA: Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif lainnya), khususnya penggunaan narkotika suntik, merupakan jalur penularan HIV yang signifikan.

Penyalahgunaan  narkotika  suntik,  dimana  minimnya  informasi  dan  pengatahuan

penggunaan jarum suntik steril serta minimnya akses jarum suntik steril merupakan jalur penularan HIV AIDS yang kritis. Edukasi dan intervensi banyak pihak terkait bahaya penularan melalui jarum suntik beberapa dekade terhadap populasi kunci Napza dipandang berhasil menekan angka kasus di kelompok pengguna NAPZA.

Tren penyalahgunaan NAPZA suntik mulai mengalami penurunan, di tahun 2014 angka

kasus penularan HIV di kalangan pengguna narkotika suntik jenis putaw mengalami penurunan yang signifikan. Namun tren penyalahgunaan narkotika suntik tidak berarti berhenti dan lenyap, bahkan disinyalir  pengguna NAPZA  suntik kembali menjadi hidden poppulation (populasi tersembunyi). Menurut informasi dari populasi kunci,  penggunaan Subukson yang disuntikan mulai menjadi tren baru belakangan ini. Selain itu penggunaan narkotika jenis sabu juga mengalami  peningkatan.  Kedekatan  wilayah  Tangerang dengan Jakarta, pusat perdagangan narkoba utama, memperbesar risiko ini.

Wanita Pekerja Seks (WPS): Prostitusi, terutama di daerah seperti Dadap Cheng In, meningkatkan risiko HIV karena praktik seksual yang tidak a man. Prostitusi marak terjadi, dengan distrik lampu merah Dadap Cheng In, yang didirikan sejak tahun 1970-an, menjadi contoh yang menonjol. Sebuah laporan tahun 2016 oleh The Jakarta Post merinci kegiatan prostitusi terorganisasi, yang mendatangkan perempuan dari luar daerah, sehingga meningkatkan risiko penularan HIV karena praktik yang tidak. Hal ini khususnya memprihatinkan mengingat lingkungan perkotaan dan mobilitas yang tinggi di distrik tersebut.

Media sosial semakin banyak digunakan oleh  WPS dan WPSTL untuk memasarkan layanan dan terhubung dengan klien, seperti yang terlihat dalam laporan global tentang migrasi perdagangan seks ke platform daring. Platform media sosial chat, aplikasi kencan dan sejenisnya memfasilitasi transaksi rahasia, yang berpotensi memungkinkan pekerja seks untuk menyaring klien dan menetapkan ketentuan pertemuan yang lebih aman. Selain itu, media sosial dapat berfungsi sebagai platform untuk berbagi informasi kesehatan, seperti lokasi pengujian HIV, dan dukungan sebaya, yang meningkatkan akses ke pemeriksaan kesehatan . Namun, pembatasan konten dewasa pada platform ini dapat membatasi efektivitas, dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengukur dampaknya terhadap akses layanan kesehatan, khususnya di Kabupaten Tangerang.

Upaya penjangkauan di platform media sosial melibatkan populasi asal, penjangkau

harus  bisa  melakukan  penjangkauan  virtual  dan  masuk  dalam  indicator mereka.  Selain mengajak untuk melakukan VCT  penjangkau punya tanggungjawab  mengedukasi sebagai langkah preventif.

Kerentanan Kelompok Populasi Lainnya

Selain pekerja seks perempuan, populasi kunci lainnya menghadapi kerentanan unik:

Waria (Wanita Transgender): Waria memiliki prevalensi HIV yang tinggi sebesar 12,3% di provinsi Banten, sebagaimana dilaporkan dalam laporan UNAIDS dan Kementerian Kesehatan tahun 2019. Mereka menghadapi stigma dan diskriminasi yang signifikan, yang membatasi akses ke layanan kesehatan dan meningkatkan perilaku berisiko. Intervensi berbasis masyarakat sangat penting, dengan KPA Kabupaten Tangerang menyediakan program penjangkauan.

Hadirnya  layanan  ramah  waria  di  yankes  serta  upaya  penjangkauan  di  kelompok

populasi ini mendorong naiknya kesadaran untuk mengakses layanan kesehatan, sehingga kelompok populasi ini tidak  lagi menjadi kelompok yang eksklusif dan disertakan dalam kebijakan program penanggulangan HIV di Kabupaten Tangerang.

Lelaki Yang Berhubungan Seks Dengan Lelaki (LSL): LSL menunjukkan prevalensi HIV yang

tinggi sebesar 10,6% di Banten, didorong oleh stigma sosial dan akses terbatas ke layanan pencegahan. Mereka sering menjadi sasaran dalam program HIV nasional, tetapi hambatan budaya dan  hukum,  seperti  kriminalisasi  homoseksualitas,  mempersulit upaya  tersebut. Program berbasis komunitas ada, tetapi jangkauannya terbatas.

Hadirnya layanan ramah LSL di yankes serta upaya penjangkauan di kelompok populasi ini mendorong naiknya kesadaran untuk mengakses layanan kesehatan, sehingga kelompok populasi ini tidak  lagi menjadi kelompok yang  eksklusif dan disertakan  dalam kebijakan program penanggulangan HIV di Kabupaten Tangerang.

Lelaki Berisiko Tinggi: Kelompok ini mencakup pria yang menyuntikkan narkoba atau memiliki banyak pasangan seksual, yang meningkatkan risiko penularan. Penggunaan narkoba, khususnya narkoba suntik, serta banyaknya pasangan berkontribusi terhadap penyebaran HIV di antara kelompok ini.

Hingga saat ini kelompok populasi ini masih berada di peringkat atas angka kasus HIV dalam pemetaan yang dilakukan oleh KPA Kabupaten Tangerang. Adanya kelompok populasi ini yang belum dijangkau, karena perilaku tersembunyi dan banyak pasangan meningkatkan risiko tetapi mengurangi visibilitas. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam upaya penanggulangan HIV di kelompok populasi ini mengingat mayoritas angka kasus pada kelompok ini berada di usia produktif.

Ibu rumah tangga: Ibu rumah tangga rentan tertular melalui suami mereka, dengan penelitian yang menunjukkan penularan signifikan dari suami ke istri, terutama jika suami terlibat dalam perselingkuhan atau perilaku berisiko tinggi. Sebuah penelitian tahun 2017 menunjukkan proporsi kasus HIV yang signifikan di kalangan wanita yang sudah menikah di Indonesia terkait dengan dinamika ini, yang menyoroti perlunya pengujian dan konseling berbasis pasangan.

Sumber: KPA Kabupaten Tangerang

Norma budaya dan kurangnya kesadaran menghambat pengujian, dengan banyak kasus ditemukan terlambat, sering kali tertular HIV dari pasangan (suami). Tercatat ada 189 kasus ibu rumah tangga yang tertular HIV  di Banten dari Januari hingga Oktober 2024,  sering terinfeksi oleh suami, dengan Kabupaten Tangerang kemungkinan berkontribusi secara signifikan.

Berbagai  kebijakan  program  penanggulangan  HIV  di  kelompok  ibu  rumah  tangga

menjadi prioritas di Kabupaten Tangerang, sehingga laju angka kasus HIV di kelo mpok populasi ini bisa  semakin  ditekan.  Berbagai  upaya edukasi,  akses  layanan  hingga  pendampingan pengobatan dilakukan, sehingga angka transmisi HIV dari ibu ke janin bisa ditekan.

Remaja: Berdasarkan perkiraan, terdapat sekitar 100 kasus HIV di kalangan remaja (usia 10-

19 tahun) di Kabupaten Tangerang. Perkiraan ini didasarkan pada total kasus HIV sekitar 522 pada tahun 2022 dan proporsi populasi usia 10-19 tahun, yang sekitar 16,75% dari total populasi 3,362,610 jiwa pada tahun 2023. Namun, angka ini bisa lebih tinggi karena prevalensi HIV cenderung lebih tinggi di kalangan dewasa muda, menurut data nasional. Sayangnya, data

spesifik  untuk  Kabupaten  Tangerang  tidak  tersedia secara publik,  sehingga perkiraan  ini bergantung pada tren nasional.

Studi pada remaja di Indonesia menunjukkan tantangan dalam akses layanan kesehatan, seperti stigma dan diskriminasi, yang menghambat pengujian dan perawatan. Di Kabupaten Tangerang, program seperti Mobile VCT dan kolaborasi dengan LSM meningkatkan penjangkauan, tetapi data usia remaja tetap terbatas. Selain transmisi HIV dari ibu ke janin, faktor perkembangan perilaku, seperti penggunaan media sosial untuk transaksi WPS, dapat memengaruhi penyebaran di kalangan remaja, dan menjadi faktor meningkatnya angka kasus HIV di usia remaja, hal ini membutuhkan strategi baru untuk pelacakan.

Berbagai upaya edukasi HIV di kalangan remaja dilakukan dengan intervensi program

lintas sektoral dan bekerja sama dengan pemuka agama seperti sosialisasi ke sekolah-sekolah jenjang SLTP dan SLTA, dan program Genre menjadi upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan HIV, pemahaman seksual dan  ketaqwaan di kalangan remaja.

Migrasi: Tingkat migrasi yang tinggi, didorong oleh kedekatan geografis dengan Jakarta dan wilayah lain di sekitar Kabupaten Tangerang (Kabupaten Serang, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Bogor), dapat memfasilitasi penyebaran virus saat orang berpindah antara daerah pedesaan dan perkotaan.

Lokasi  Tangerang  yang  dekat  dengan  Jakarta  mendorong  migrasi  desa-kota  yang

signifikan, sebagaimana dicatat dalam sebuah studi tahun 2008 tentang dinamika migrasi. Para migran, yang sering mencari peluang ekonomi, mungkin terlibat dalam perilaku berisiko tinggi, yang memfasilitasi penyebaran HIV. Populasi kabupaten tersebut, s ebesar 3.362.610 pada tahun 2023, mencerminkan mobilitas ini, dengan tingkat pertumbuhan yang menunjukkan arus masuk yang berkelanjutan.

Kemiskinan dan Pendidikan: Dengan tingkat kemiskinan sebesar 8,22% pada tahun 2023, sedikit di bawah rata-rata nasional sebesar 9,36%, dan IPM sebesar 75,56, tingkat pendidikan relatif tinggi, yang berpotensi mengurangi kerentanan.

Tingkat kemiskinan di Kabupaten Tangerang adalah 8,22% pada tahun 2023, dihitung dari 276.330 orang miskin dari total populasi 3.362.610, sedikit di bawah rata-rata nasional sebesar 9,36%. IPM sebesar 75,56 pada tahun 2023,  lebih tinggi dari rata-rata nasional, menunjukkan  standar  pendidikan  dan  kehidupan  yang  lebih  baik,  sehingga  berpotensi

memitigasi beberapa risiko. Namun, kantong kemiskinan mungkin masih membatasi akses terhadap pendidikan preventif dan layanan kesehatan.

Warga Peduli AIDS (WPA): Warga Peduli AIDS (WPA) hadir di Kabupaten Tangerang, dengan kegiatan yang tercatat di sedikitnya 10 desa/kelurahan sejak tahun 2014. Misalnya, Desa Tegal Kunir Lor di Kecamatan Mauk mendeklarasikan dan membentuk WPA pada tanggal 18 Juli

2018, yang menunjukkan keterlibatan masyarakat secara aktif.

Hingga saat ini terdapat 22 WPA di Kabupaten Tangerang, yaitu di desa Sumur Bandung Kecamatan Jayanti, desa Caringin Kecamatan Cisoka, desa Tobat Kecamatan Balara, desa Sukabakti Kecamatan Curug, desa Tanjung Anom Kecamatan Mauk, desa Tegal Kunir Kecamatan Mauk, desa Tanjung Pasir Kecamatan Teluk Naga, desa Pisangan Jaya Kecamatan Sepatan, Kelurahan Kelapa Dua Kecamatan kelapa Dua, desa Sukamantri Kecamatan Pasar Kemis, desa ketapang Kecamatan Mauk, desa Lebak Wangi Kecamatan Kedaung, serta 14 WPA di wilayah desa/Kelurahan/Kecamatan Cikupa.

Peran   WPA   adalah   melibatkan   penduduk   setempat   dalam   pencegahan   dan

penanggulangan HIV/AIDS. Mereka berfokus pada edukasi masyarakat, pengurangan stigma dan diskriminasi, serta dukungan akses terhadap tes dan pengobatan. M ereka bekerja sama dengan kelompok-kelompok seperti kader Posyandu, kelompok pemuda, dan komunitas keagamaan untuk menyebarkan informasi dan memberikan dukungan.

Program-program tersebut meliputi kampanye  kesadaran  masyarakat,  memfasilitasi

VCT keliling, serta bekerja sama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan Dinas Kesehatan untuk pendidikan dan penjangkauan. Mereka juga bertujuan untuk mencapai target “Tiga Nol” ASEAN pada tahun 2030, dengan fokus pada nol infeksi baru, nol kematian terkait AIDS, dan nol stigma.

Akses Layanan Kesehatan: Akses layanan kesehatan untuk HIV/AIDS sangat baik, dengan pengujian dan perawatan gratis yang tersedia di semua 44 PUSKESMAS, 12 Rumah Sakit, dan

1 Balai Kesehatan masyarakat, didukung oleh staf terlatih dan layanan terpadu.

Akses layanan kesehatan untuk penanganan HIV/AIDS relatif kuat, dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang melaporkan layanan terpadu di 44 PUSKESMAS, 12 Rumah Sakit, dan 1 Balai Kesehatan masyarakat, termasuk tes dan pengobatan gratis. Hingga Desember 2024, Kabupaten Tangerang dengan estimasi temuan kasus HIV sebanyak 5.997

Sumber: KPA Kabupaten Tangerang

orang. Dari jumlah tersebut, 5.210 (87%) ODHIV (Orang Dengan HIV) yang di antaranya masih hidup, sementara 882 pasien meninggal dan 925 pasien rujuk keluar setelah mendapatkan ART (Anti Retroviral Treatment). Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Tangerang juga mencantumkan berbagai layanan VCT, yang meningkatkan akses ke yankes.

Implikasi dan Rekomendasi

Interaksi antara stigma, penggunaan narkoba, prostitusi, populasi kelompok berisiko, migrasi, dan kemiskinan memerlukan pendekatan yang beragam. Kampanye kesehatan masyarakat harus difokuskan pada pengurangan stigma melalui pendidikan, seperti yang terlihat dalam penelitian yang mengadvokasi kesadaran. Perlunya strategi baru yang inovatif untuk memperkuat program pengurangan bahaya bagi pengguna narkoba, mengatur area prostitusi, dan meningkatkan layanan kesehatan migran sangatlah penting. Mengingat infrastruktur layanan kesehatan yang kuat, peningkatan pengujian dan perawatan, terutama

di area berisiko tinggi, diharapkan dapat semakin mengurangi angka kasus penularan HIV di

Kabupaten Tangerang.

Tulisan ini didasarkan pada data dari sumber resmi dan penelitian, memberikan dasar untuk mengatasi kerentanan HIV/AIDS di Kabupaten Tangerang, memastikan pendekatan yang seimbang dan terinformasi terhadap kebijakan kesehatan masyarakat.

(Jethro Aspati)

Leave a Reply